Akhir-akhir ini masyarakat Indonesia disuguhkan oleh drama politik yang luar biasa menegangkan. Antara kelompok satu versus kelompok dua.
Polarisasi masyarakat yang terjadi akibat suhu politik yang semakin meningkat menimbulkan anggapan-anggapan bahwa kontestasi politik diartikan sama dengan kontestasi ideologi.
Di satu pihak menilai bahwa kontestasi politik tahun
2019 adalah terjadi antara kelompok radikalis melawan pancasilais.
Di pihak
lain menilai bahwa kontestasi politik ini terjadi antara kelompok Islam melawan
anti Islam. Anggapan tersebut sebenarnya tidaklah salah.
Namun apabila ditinjau
dari alasan mereka membuat narasi itu. Hal itu sangat bermuatan subjektif.
Pertama, alasan pihak satu memunculkan narasi tersebut
rupanya berkaca pada situasi dan kondisi masyarakat yang ribut karena politik.
Sudah sama sekali tidak percaya dengan pemerintahan yang sedang memimpin
sehingga menginginkan lahirnya pemerintahan baru yang dinilai lebih
“menguntungkan” mereka.
Kemudian bagaimana bisa memobilisasi massa yang banyak
mengingat bahwa pemilu sebelumnya kelompok ini kalah? Maka strategi yang
diambil adalah dengan sedikit menyentil sentimen agama.
Strategi ini berhasil
dalam menaikkan pamor dan menjatuhkan lawan pada pemilihan gubernur DKI
Jakarta.
Mengingat bahwa agama sangat empuk untuk menumbuhkan jiwa ashobiyah
yang ada pada diri masyarakat Indonesia, maka aliran agama yang juga ingin
eksis dalam perjuangan ini mulai masuk dalam koalisi tersebut.
Termasuk aliran
agama yang sebelumnya tidak mendapatkan tempat di pemerintahan. Hal itu tidak
menutup kemungkinan masuknya aliran militan dalam agama yang juga menginginkan
eksistensi dalam pemerintahan.
Sehingga tidak salah apabila kelompok satu
menganggap bahwa mereka (kelompok dua) adalah kelompok militan (radikal).
Kedua, narasi yang ditimbulkan kelompok dua juga tidak
bisa dibilang salah. Mereka menganggap bahwa aksi yang mereka lakukan dalam
rangka melawan ketidak adilan sudah seharusnya mereka lakukan.
Hal itu terjadi
karena respon mereka terhadap “ketidak adilan” yang mereka dapatkan selama ini.
Ketidak adilan yang mereka dapatkan dari pemerintah agaknya terjadi karena
posisi mereka sebagai kelompok yang berada di luar istana dan memang tugas
mereka adalah mengkritik dan memposisikan diri untuk tidak setuju dengan
pemerintah. Itulah yang disebut dengan oposisi.
Kelompok oposisi inilah yang
banyak di dominasi oleh orang-orang yang bergerak atas nama ormas. Kelompoknya
lah yang menurut mereka sering mendapat perlakuan yang tidak sepantasnya mereka
dapatkan.
Kritik-kritik mereka menuntut pemerintahan yang baik didasarkan pada ideologi mereka. Dan seringkali mereka
terciduk polisi akibat kritik tajam mereka dengan dalih bahwa kelompok dua ini
telah melakukan ujaran kebencian.
Dan tentunya dengan tertangkapnya para tokoh “agama”
mereka, sangat wajar apabila muncul narasi “kriminalisasi ulama”.
Ulama adalah
orang yang dicintai dalam agama Islam, dan apabila ada kriminalisasi ulama
berarti yang menangkap ulama adalah pembenci ulama, dan sang pembenci ulama
bisa diartikan sebagai pembenci agama “Islam”.
Jadi dua kelompok tersebut akan terus berseteru dan bersitegang
menghadapi segala macam situasi. Terbukti bahwa setiap permasalahan yang
muncul.
Kedua kelompok ini akan mengeluarkan pendapat yang berbeda. Kecuali
dalam hal yang mereka harus menyuarakan persamaan. Seperti sama-sama pancasila
dan sama-sama manusia.
Baca Juga :
Komen dong