Politik. iya politik... Sebuah pembahasan yang tidak
akan pernah selesai seiring manusia yang selalu ingin duduk dan mendapatkan
jabatan yang ia dambakan.
Sikap yang demikian adalah sikap yang tidak sehat. Ketidaksehatan tersebut tercermin dari keadaan perpolitikan Indonesia yang semakin sakit sesakit-sakitnya.
Di Indonesia, politik semakin tahun semakin
membingungkan. Kecamuk politik setelah kemerdekaan yang masih kita dengar
sampai sekarang adalah tentang penggulingan pak Harto tahun 98. Awal perubahan
yang dibangga-banggakan oleh sebagian besar pejuang reformasi yang sekarang
masih bergema.
Setelah reformasi berjalan, Indonesia mulai stabil.
Politik semakin hari semakin “membaik” namun akhir-akhir ini sepertinya ada hal
yang sedikit menodai proses rehabilitasi politik di Indonesia. Hal itu dimulai
ketika politik agama, politik identitas, dan poitik sara mulai ditegakkan.
Keruwetan yang terjadi
pada tahun-tahun ini menurut sebagian besar orang bukanlah hanya sekedar “dia
lah yang harus memimpin, karena dia cakap dan bijaksana”. Tapi lebih kepada
“saya tidak ingin dia yang mempimpin, maka saya pilih ini (karena tidak ada
yang lain)”.
Maka sampai di sini, muncul istilah anyar yaitu
politik kebencian, politik ketakutan dsb. Sikap politik yang terjadi akibat
dari adanya unsur kebencian dan ketakutan terhadap salah satu orang (lawan).
“saya milih Prabowo karena saya tidak ingin Jokowi
yang mimpin”. “saya milih Jokowi karena saya takut jika Prabowo jadi presiden
akan bla bla bla”. Begitulah kiranya. Sampai muncul stigma-stigma bahwa
pendukung yang satu adalah kelompok radikal dan pendukung yang lain adalah
kelompok antek aseng. Belum lagi persoalan cebong dan kampret. duhh
Sikap yang demikian adalah sikap yang tidak sehat. Ketidaksehatan tersebut tercermin dari keadaan perpolitikan Indonesia yang semakin sakit sesakit-sakitnya.
Setelah pilpres berlangsung dan sidang MK yang
menyatakan bahwa tuduhan 02 tidaklah valid dan tidak bisa diterima, meskipun
Buk Beti mengatakan kalau di Boyolali tidak ada aspal, politik Indonesia tidak
kian membaik.
Setelah putusan itu, banyak orang yang menyerukan
untuk adanya “rekonsiliasi” antara Jokowi dan Prabowo. Rekonsiliasi tersebut
sempat ditolak oleh kubu sebelah. Meskipun begitu, rekonsiliasi tetap
dilaksanakan.
Akan tetapi yang terjadi bukanlah damai. Namun para
elit mengatakan bahwa rekonsiliasi hanyalah sarana untuk memperoleh jabatan di
pemerintahan.
Pertemuan Jokowi dengan Prabowo seharusnya dijadikan
sebagai moment untuk bersatu kembali, merajut cinta kasih sebagai manusia
sebangsa dan setanah air. Namun ternyata hal itu mustahil dilakukan.
Salah satu kelompok pendukung Prabowo yang
memproklamirkan diri sebagai “ulama” memutuskan untuk keluar dari barisan
pendukung, karena pertemuan Prabowo dengan Jokowi. Itu merupakan fenomena yang
menarik untuk dibahas.
Keluarnya mereka disebabkan karena kekecewaan mereka
atas tindakan pemimpin mereka karena mau untuk berekonsiliasi dengan lawan
politiknya.
Sampai sini semakin terlihat bahwa politik kebencian
telah merajalela. Bagaimana bisa, ketika pemimpin mereka sudah mulai lunak dan
menginginkan untuk kembali merajut persatuan dan perdamian justru malah ditolak
dan ditinggalkan?
Sikap yang seperti itu nampaknya terjadi karena figur
mereka dinilai sudah terkontaminasi oleh lawannya. Sehingga figur mereka
“mungkin” sudah masuk dalam kategori lawan. Sungguh sangat miris.
Namun, tidak banyak orang yang tahu mengapa itu bisa
terjadi. Tapi yang pasti, apabila sikap politik lahir karena kecintaan terhadap
salah satu figur. Bukan penolakan yang mereka lakukan. Tapi dukungan dan
persatuan yang mereka tegakkan.
Baca juga:
Komen dong